Sumber |
Bagi siapa saja yang ingin bangsa ini selamat dunia dan
akherat, merasa gundah gulana. Kenapa ? Karena nyata-nyata bangsa ini
sebenarnya belum pernah merdeka dalam makna yang sejatinya. Benar, jika
tentara Kerajaan Belanda atau pasukan Kekaisaran Jepang tidak lagi hadir
dan wira-wiri di sekitar rakyat. Namun apakah tentara dan polisi yang
direkrut dari bangsa ini serta semua pelayan negara (birokrat) sudah
betul-betul menjalankan hakekat kemerdekaan yang dijadikan kebanggaan
kalangan nasionalis itu?
Mungkin,
ada yang punya asumsi kalau hidup dalam penjajahan bangsa asing maka
semua penduduk asli pribumi akan hidup melarat. Pakaiannya
compang-camping dan semua hanya makan bulgur (ampas padi). Sehingga
kalau sekarang banyak rakyat sudah berpakaian bagus, makan yang
enak-enak dan berkendaraan baik, mereka meyakini itulah kemerdekaan
sejati.
Atau bagi
yang mereka maniak kerja berpendapat bahwa isi kemerdekaan sesungguhnya
adalah pembangunan proyek-proyek materiil ansich. Jika sebuah bangsa
mampu menampilkan perolehan kemajuan materi maka itulah kemerdekaan yang
sebenarnya. Jalan, jembatan, lapangan terbang, pelabuhan, terminal
hingga bangunan-bangunan bertingkat yang tinggi menjulang serta berbagai
sarana penunjang kehidupan yang semakin canggih dan praktis adalah
sederet bukti tercapainya tujuan kemerdekaan versi kelompok ini.
Sungguh
sayang sekali, Rabb yang telah menciptakan mereka tidak membenarkan apa
yang mereka anut sekarang ini, bahkan IA membantah dan merendahkan
keyakinan palsu mereka. Perhatikan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala
berikut ini:
“Dan mereka (orang-orang yang ingkar terhadap Pencipta-nya) berkata: ‘ Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang mematikan kita melainkan masa (ad dahr).” Dan sekali-kali mereka tidak memiliki pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jaatsiyah: 24)
“
Mereka (orang-orang kafir itu) hanya menngetahui yang lahir (nampak)
saja dari kehidupan dunia sedangkan tentang kehidupan akherat mereka
adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)
Dari ayat-ayat suci diatas, artinya bahwa jika kita memandang kehidupan hanya dari segi materi saja maka kita sejatinya adalah termasuk kalangan orang-orang yang mendustakan Tuhan. Walau secara lantang mengakui wujudnya Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ideologi negara. Bahkan seandainyapun kita meyakini adanya kehidupan akherat yang lebih kekal dan nyata dibanding kehidupan dunia sekarang namun kita tetap lebih condong kepada kehidupan duniawi ini, maka kitapun akan tetap digolongkan sebagai orang-orang yang ingkar kepada Alloh Rabbul ‘alamiin.
Firman-Nya:
“Dia-lah
Alloh yang memiliki segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan
celakalah bagi orang-orang yang kafir karena siksaan yang sangat pedih.
(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada
kehidupan akherat dan menghalang-halangi manusia dari jalan Alloh serta
menginginkan agar jalan Alloh itu bengkok. Mereka dalam kesesatan yang
nyata.” (QS Ibrahim: 3)
Salah Memilih Sistim Hidup dan Pemimpin: Sebab Kekufuran
Ketika dunia dijadikan tujuan hidup dan seluruh dinamika kehidupannya hanya berorientasi materi, maka ketertipuan dalam hidup akan menjadi keniscayaan.
Wallohu a’lam. Buktinya, bangsa ini tidak pernah keluar dari lingkaran
setan sejak jaman penjajahan hingga era yang disebut sebagai zaman
kemerdekaan sekarang ini.
Lingkaran
setan yang dimaksud adalah semua kondisi dimana ajaran Tuhan (Al Islam)
hanya dijadikan sebagai ornamen atau suplemen kehidupan. Bukan
dijadikan tuntunan yang tuntutannya mesti dijalankan. Mulai dari songkok
(peci) yang menutup kepala, hingga Qur-an diletakkan diatasnya saat
bersumpah. Namun semua itu tidak bisa menutupi pembangkangan banyak
pemimpin bangsa ini yang melakukan permusuhan terhadap Syari’at yang
diturunkan Alloh kepadanya.
Kemerdekaan
sejati bagi seorang muslim sesungguhnya ketika ia secara bebas dapat
mengaktualisasikan semua kehendak Rabb-nya dalam setiap sendi kehidupan,
baik dalam ranah skaral maupun profan. Kemerdekaan beribadah kepada
Alloh secara vertikal dan menerjemahkan tuntunanNya saat berinteraksi
(muamalah) dengan sesama manusia secara horisontal.
Maka saat
memilih Al Islam sebagai sistim hidup dan boleh menolak sistim hidup
lainnya dengan sebenarnya maka itulah kemerdekaan hakiki. Dimana Al
Islam sendiri memiliki prosedur prinsip dan mekanis yang standar dalam
menentukan kepemimpinan.
Justru ketika kita hidup dalam kemerdekaan yang semu (pseudo Liberty)
sebagaimana kita alami sekarang maka Islam mengajarkan kita untuk
berjuang dan melawan semua simbol-simbol kepalsuan tersebut beserta para
pendukung-pendukungnya. Paling tidak, kita sebagai muslim tidak mudah
menerima segala informasi yang ditebarkan media untuk menguasai alam
pikiran kita.
Media sebagai Pilar keempat Demokrasi
Pada
tataran idealnya, media semestinya menyuarakan kebenaran dari
fakta-fakta yang ada. Jadi bukan sebaliknya menjadikan fakta-fakta yang
ada sebagai ukuran kebenaran finalnya. Idealisme membutuhkan frame yang
universal, integral dan komprehensip sedangkan media yang menjadi
pelacur idealisme menjadikan bingkai kepentingan dan keuntungan dengan
mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran. Fakta-fakta akan dipilih dan
dipilah berdasarkan konteks ‘pelacuran idealisme’ kemudian diplot
kedalam cawan keuntungan atau kepentingan semata-mata.
Jika saja
ada yag berpendapat bahwa kerja media adalah pekerjaan yang mulia maka
pendapat ini tidak boleh lepas dari integritas dan kapabilitas
profesional yang berdiri diatas pilar dan sendi kebenaran. Keluar
sedikit saja dari konteks ini maka media tak ubahnya menjadi kumpulan
orang yang tega melacurkan idealisme profesionalnya atau paling rendah
jadi pengemis ‘elit’ yang hidup dari belas kasihan kalangan beruang,
bisa pengusaha ataupu penguasa.
Demokrasi
sebagai sistim politik yang lahir dari liberal kapitalistik
(sekularisme), dengan sendirinya akan kesulitan mewujudkan profesionalis
media yang berintegritas. Integritas disini sekurang-kurangnya
mengandung unsur Kejujuran, Disiplin dan Tanggung Jawab. Kapabilitas
profesional tanpa integritas dimaksud biasanya malah akan menjadi
senjata makan tuan bahkan ancaman bagi kehidupan sekitarnya. Sehingga
dalam kutub ekstrim, media bisa menjadi common enemy bagi sebuah komunitas masyarakat.
Media
jurnalistik dengan kemampuan investigasi adalah sebuah badan yang
beda-beda tipis dengan kerja badan intelejen ataupun penyidikan. Bahkan
saat berkiprah dalam ranah ilmiah, media jurnalistik juga akan bekerja
menjadi semi lembaga riset. Disinilah integritas awak media akan diuji,
apakah ia akan jadi insan terdepan pengabar atau malah menjadi pengabur
informasi. Independensi media mestinya diterjemahkan sebagai aktualisasi
keberpihakan pada kebenaran bukan selainnya.
Fenomena Pencitraan Media untuk Jokowi
Setelah
kesuksesan politik pencitraan yang dilakoni SBY sepuluh tahun lalu, kini
muncul pula politik pencitraan gaya baru. Kali ini melibatkan dukungan
massif semua media baik cetak, elektronik, online, maupun sosial.
Adalah
seorang Jokowi yang digadang-gadang untuk jadi presiden dan diblow-up
habis-habisan oleh media-media mainstream. Dukungan secara massif itu
bisa dibilang tidak wajar karena Jokowi yang adalah seorang ‘muslim’
justru tidak “laku” di media Islam seperti voa-Islam, Arrahmah,
Suara-Islam, dll. Bukankah kalau seorang muslim sangat luar biasa dalam
memimpin, maka media-media muslim justru akan ikut memberitakannya
dengan bombastis? Tapi bukannya diberitakan secara bombastis, Jokowi
justru diberitakan secara negatif di media-media muslim tersebut.
Keanehan
ini ditambah dengan adanya informasi bahwa kebanyakan media mainstream
terindikasi dibayar untuk pencitraan Jokowi. Menurut informasi,
media-media tersebut adalah:
1)
First Media Grup (beritasatu1.TV beritasatu .com, suara pembaruan,
Jakarta Globe, Suara Pembaruan, The Straits Times, Majalah Investor,
Globe Asia, The Peak, Campus Asia, Student Globe, Kemang Buzz, Campus
Life, Termasuk Beritasatu FM. First Media Grup adalah milik James Riady
(Lippo Grup), konglomerat yang bersahabat baik dgn Bill Clinton dan
terlibat Lippo Gate yg terjadi di AS, ketika James Riady cs tertangkap
memberikan dana politik illegal jutaan dollar kepada timses capres
Demokrat Bill Clinton untuk pemenangan Clinton pada pemilihan Presiden
AS. Uang sumbangan James Riady cs itu kemudian terbukti berasal dari
China Global Resources Ltd, sebuah perusahaan kedok milik China Military
Intelligence (CMI).
2)
Media lain yang dikontrak mahal untuk pencitraan palsu Jokowi adalah
Detik Grup. Ngakunya milik Chairul Tanjung alias CT, tapi sebenarnya
milik Salim Grup. Detik.com Setiap hari, detikcom memuat berita tentang
pencitraan palsu Jokowi puluhan bahkan kadang lebih 100 berita. Chairul
Tanjung hanya dipinjam nama dan bertindak untuk dan atas kepentingan
Antony Salim (Salim Grup).
3)
Kompas /Gramedia Grup memang tidak segila detikcom siarkan Jokowi, tapi
tetap punya KANAL BERITA KHUSUS untuk mempromosikan Jokowi dan Ahok.
Diprediksi menjelang masa pilpres 2014, Kompas dan Gramedia Grup akan
habis – habisan mendukung Jokowi – Ahok karena sejalan dengan misi
medianya, pelemahan Islam di Indonesia.
4)
Jawa Pos Grup. Tidak melibatkan semua media milik Dahlan Iskan yang
jumlahnya 185 TV, Koran, Online media, dll itu. Sekitar 40% JawaPos Grup
dikontrak. Namun, dipastikan jika Dahlan Iskan mau sebagai capres, Jawa
Pos Grup tidak akan terlalu mendukung Jokowi kecuali mendapat
permintaan khusus dari Chairul Tandjung, tokoh yang merekomendasikan
Dahlan Iskan ke Presiden SBY untuk ditunjuk sebagai Menteri BUMN tahun
2011 lalu.
5)
Yang paling gencar jilat Jokowi adalah Koran Rakyat Merdeka. Ada saja
berita (palsu) istimewa tentang Jokowi. Kontraknya puluhan Milyar.
6)
Tempo (majalah dan Online) adalah media pelopor yg orbitkan Jokowi
dengan penghargaan “10 Tokoh Terbaik (penghargaan abal-abal), hanya
karena bisa pindahkan Pedagang Kaki Lima (PKL), itu pun dilakukan
setelah hampir setahun bolak balik mengunjungi dan mengundang PKL makan
bersama. Fakta terakhir, PKL Solo kembali ke lokasi awal sebelum pindah
karena di tempat baru dagangan mereka tidak laku.
7)
Tribunnews Grup (Bosowa dan Kompas) juga dikontrak untuk pencitraan
palsu Jokowi. Demikian juga Fajar Grup (Alwi Hamu / Dahlan Iskan). Alwi
Hamu juga merupakan patner bisnis Dahlan Iskan di media dan PLTU
Embalut, Kaltim yang sarat korupsi itu.
8)
Metro TV, tidak tahu sekarang dibayar berapa untuk kontrak pencitraan
palsu Jokowi sampai 2014. Tapi saat Pilkada DKI puluhan Milyar. Sejak
dapat bisnis iklan dari Konglomerat – konglomerat pendukung Jokowi,
Metro TV jadi corong nomor satu Jokowi, disamping jadi corong kampanye
dan pencitraan Dahlan Iskan yang memberikan kontrak iklan luar biasa
besar dari BUMN – BUMN kepada Metro TV.
9)
SCTV grup. Pemiliknya Edi dan Popo Sariatmadja malah menjadi cukong
utama. Koordinator media pencitraan Jokowi, membantu James Riady.
Dukungan promosi dan kampanye yang diberikan untuk Jokowi gratis alias
tanpa bayaran, meski diduga sebenarnya sudah mendapatkan imbalan dari
dana pemenangan Jokowi yang telah terkumpul puluhan triliun dari
sumbangan para konglomerat hitam Indonesia.
10) Media
raksasa lain seperti Vivanews grup (TV One, ANTV, Vivanewscom dll)
milik Bakrie meski kontrak dgn Cukong Jokowi tapi porsinya kurang dari
30%, dan masih melihat perkembangan situasi dan kondisi politik nasional
mengingat Aburizal Bakrie masih berstatus Ketum Golkar dan kandidat
capres.
11)
Selain media cetak, televisi mainstream, sosial media seperti twitter,
facebook, kaskus dll juga dikontrak khusus. Lihat saja di sini. Bahkan
di twitter juga mulai ada akun relawan yang berusaha menjelaskan dengan
kata-kata manis mengenai tingkah-polahnya yang anomali pada tiap akun
yang berkomentar negatif. Rumornya ia memiliki buzzer sebanyak
1500-2000-an yang mengelola lebih dari 10.000 akun sosial media . Buzzer
adalah semacam pasukan bayaran online, yang siap menjaga reputasinya di
internet dengan cara menyusup di berbagai forum dan kolom komentar
untuk mendongkrak citranya. Para buzzer bayaran ini akan berkomentar
positif tentangnya dan menyerang habis-habisan mereka yang tidak
melihatnya sebagai “dewa”. Dulu waktu pilkada DKI, selain orang-orang
yang permanen kelola akun untuk pencitraan Jokowi, dibentuk juga Tim
Jasmev. Puluhan Milyar biayanya.
(lihat: http://radennuh.org/2014/02/28/rahasia-dibalik-citra-dan-popularitas-jokowi-2/)
Rakyat Masih Percaya Mantera Media
Menguasai
suara mayoritas rakyat di negri ini konon tidak mahal. Demokrasi yang
bathil ini berporos pada Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara
Tuhan. Tidak lagi melihat siapa yang bersuara, profesi apapun, mulia
atau tercela, selama ia termasuk rakyat maka boleh bersuara. Tidak salah
kalau ada yang bilang bahwa dalam demokrasi suara pelacur (PSK) atau
Gigolo sama dengan suara ‘Ulama (kiyai haji, ustadz/ah dll).
Bahkan
menurut cerita Ustadz Fahmi Salim dari Majelis Ulama Indonesia melalui
jejaring sosial, seorang pengusaha besar berani memastikan bahwa ongkos
pemenangan seorang calon Presiden di Indonesia tidak lebih mahal bahkan
jauh lebih murah daripada akuisisi Facebook terhadap Whatsapp. Facebook
mengeluarkan dana hingga 19 Milyar US $ untuk hal itu, sedangkan untuk
memenangkan Pemilu Pilpres di negri ini cukup hanya dengan merogoh kocek
tidak lebih dari 1 Milyar US $.
Kalau
uang senilai itu tidak perlu diberikan kepada 100 juta pemilih (dimana
masing-masing kurang lebih mendapat Rp. 110.000,-) namun digelontorkan
bagi kerja-kerja media maka bisa dibayangkan ‘rejeki’ pemilik dan awak
media yang mau menggadaikan idealismenya.
Fenomena
penguasaan (baca: penjajahan) media terhadap opini rakyat tampaknya
sulit untuk dibantah. Rakyat kebanyakan adalah penggemar semua yang
serba instan, termasuk informasi. Bagi mereka yang sudah ditempa
kesulitan hidup hari demi hari ataupun mereka yang terbiasa hidup aman
nyaman menikmati jabatan serta kalangan masyarakat menengah keatas yang
mampu mengakses berbagai jenis hiburan, maka bisa dipastikan akan malas
mengerenyitkan kening sedikit untuk memvalidasi informasi yang tersaji
dari media massa baik cetak maupun elektronik. Mereka akan serta merta ‘menyantap’ informasi siap saji tersebut. Apalagi ketika ukuran kebenaran kian kebablasan.
Hasilnya,
media tidak lagi mengambil peran penyuaraan kebenaran bahkan berubah
menjadi ‘dukun-dukun’ yang seolah mampu memberikan solusi atas segala
permasalahan. Termasuk meng-create sosok pemimpin yang
sejatinya bisa menjadi teladan bagi keselamatan hidup di dunia kini dan
akherat di masa mendatang. Saat media tidak lagi berideologi maka
kwalitas pemimpin bukan ukuran. Yang penting, keuntungan masuk ke
kantong adalah kepastian. (Abu Fatih/dbs/voa Islam)[Sumber]
BACA JUGA:
0 comments:
Post a Comment