Home » » Negeri Agraris Nan Ironis

Negeri Agraris Nan Ironis

INDONESIA tampaknya mesti bersiap-siap menanggalkan  julukan negara agraris yang selama ini melekat. Kekhawatiran itu tidak berlebihan karena fakta dan data telah membeberkan bahwa sektor pertanian yang menjadi basis munculnya julukan itu kini tengah dalam fase kritis.

Bukan cuma lahannya yang terus tersedot, sektor pertanian juga mulai ditinggalkan pelakunya dalam jumlah yang masif. Menurut Badan Pusat Statistik dalam Sensus Pertanian 2013, hanya dalam satu dekade, ada sekitar 5,04 juta rumah tangga yang berhenti menggantungkan hidup dari usaha pertanian.

Dengan demikian, kini jumlah rumah tangga pertanian tinggal 26,13 juta dari sebelumnya 31,17 juta pada 2003. Laju penurunannya mencapai 1,75% per tahun. Jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang tahun ini diperkirakan 250 juta, jumlah keluarga petani itu tak sampai 11%.
Dengan fakta penurunan per tahun sebesar itu, sungguh ironis bila kita masih saja ‘mengaku-aku’ sebagai negara agraris. Apalagi pada saat yang sama, jumlah tenaga kerja di sektor-sektor yang lain seperti industri, konstruksi, perdagangan, transportasi, keuangan, dan jasa justru terus bertumbuh.

Menurut BPS, penghasilan yang murah di sektor pertanian dituding sebagai salah satu alasan utama para pekerja tani memilih pindah profesi. Namun, jika dicermati, ketidaktertarikan orang bekerja di sektor pertanian saat ini sesungguhnya merupakan akumulasi dari banyak problem yang menjangkiti sektor tersebut selama bertahun-tahun.

Kenyataan itu semakin menegaskan bahwa memang ada yang salah dengan pengelolaan sektor pertanian di Indonesia. Pemerintah yang mestinya menjaganya sebagai sektor andalan negeri ini justru kepayahan melawan kerakusan dunia industri dan kawan-kawannya.

Keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian lemah. Alih fungsi lahan pertanian yang seperti dibiarkan tanpa kendali serta minimnya dukungan pemerintah terhadap pengembangan infrastruktur pertanian adalah contoh ketidakberpihakan itu.

Belum lagi masalah panjangnya mata rantai tata niaga pertanian yang menyebabkan petani tidak dapat menikmati harga tinggi karena keuntungan besar dari penjualan hasil pertanian lebih banyak dinikmati pedagang.

Pertanian bak anak sulung kehilangan perhatian orangtuanya yang kini lebih asyik menimang dan memanjakan adik-adiknya. Pertanian seolah dituntut mencari kekuatan sendiri tanpa modal dan perhatian yang cukup.

Lebih celaka lagi, dalam kondisi seperti itu, produk dari sektor pertanian dalam negeri mesti menghadapi gempuran produk pertanian impor yang entah kenapa sangat mudah mendapatkan izin masuk. Maka, makin lengkaplah problem sektor pertanian kita.

Kini, fakta kian berkurangnya petani dan rumah tangga pertanian dalam jumlah signifikan seharusnya bisa menjadi alarm yang kesekian kali bagi pemerintah untuk lebih peduli terhadap sektor pertanian.

Ambil momentum itu secepatnya karena bagaimana negeri ini mau menghasilkan ketahanan pangan jika petaninya saja makin tidak ada?



Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...